Oleh: Ellen Manueke
(Sarjana Pendidikan Musik dan Magister Linguistik Antropologi)
Dosen Luar Biasa Prodi Seni Musik Universitas Negeri Manado (UNIMA)
(Sarjana Pendidikan Musik dan Magister Linguistik Antropologi)
Dosen Luar Biasa Prodi Seni Musik Universitas Negeri Manado (UNIMA)
dan Fakultas Bahasa Universitas
Nusantara (UN) Manado
Penulis buku: Musik dalam Ibadah (2004)
Musisi Gereja MAHK
Pendahuluan:
Sebagai anggota Gereja MAHK dari lahir, buku Lagu Sion telah
sekian lama mempengaruhi minat dan pengembangan musik saya. Buku ini merupakan
buku musik yang pertama kali saya kenal di kota kelahiran saya yang kecil,
Tolitoli. Sejalan dengan penggunaannya dalam ibadah, seingat saya pernah terjadi perubahan menyangkut pengalihan kata atau nama dari ‘Isa’ ke
‘Yesus’; yang berlangsung secara umum di lingkungan Negara RI. Transisi ini
berlangsung tahun 1980an dan kemudian teratasi; anggota jemaat gampang
beradaptasi untuk perubahan hanya satu kata. Perkembangan bahasa dan pengenalan
jemaat yang semakin baik terhadap lagu-lagu ibadah telah menumbuhkan kerinduan pemukhtahiran buku lagu yang diterjemahkan dari puisi bahasa Inggris
tersebut.
Di awal tahun 2012, IPH merilis buku Lagu Sion Edisi Lengkap
yang kemudian dikenal dengan singkatan LSEL. Tidak tanggung-tanggung
terobosannya, buku ini dilengkapi dengan CD berisi minus one berupa iringan
piano dari semua lagu yang tercantum, 525 lagu beserta
contoh menyanyi melodi yang dinyanyikan oleh seorang biduan wanita bersuara sopran. Selain itu,
tim penyusun juga datang khusus ke Kawangkoan, Sulawesi Utara dan mendapat
waktu khusus di jam utama ibadah Sabat untuk mensosialisasikan buku tersebut. Warga gereja menyambut kehadiran buku ini dengan penuh antusias.
Terbukti, penjualan buku meningkat, permintaan bertambah, dan perlu rentang waktu cukup lama bagi jemaat untuk mendapatkan kemasan tersebut setelah memesan.
Penerbitan edisi lengkap lagu sion ini dapat dikatakan fenomenal karena berhasil menjawab kerinduan warga gereja akan
revisi lagu-lagu, namun juga menuai kritik dikarenakan ketidaknyamanan
yang muncul kemudian dalam penggunaannya di mana jemaat merasa tidak nyaman ketika menyanyikan lagu-lagunya.
Memasuki tahun ketujuh sejak dirilis, jemaat belum juga bisa meninggalkan
buku versi lama dan belum juga mampu menyesuaikan dengan versi baru, istilah
kekiniannya belum bisa "move on". Berbagai alasan berkembang: tidak semua lagu di
versi lama terakomodir di versi baru; sulit beradaptasi dengan puisi versi baru
yang mana kepuasaan jemaat ketika menyanyikan puisi lagu versi baru tidak sama dibandingkan
dengan saat menggunakan model lama; ‘lagu’ versi lama lebih menjamah
dibandingkan dengan yang baru; versi baru tidak simple untuk dibawa ke
mana-mana – sementara keunggulan versi baru ada pada daftar lagu yang semakin
banyak dan beragam. Beberapa indikasi ini menunjukkan bahwa terjadi masalah
dalam proses penyesuaian versi lama ke versi baru. Tulisan ini mengklasifikasikan
permasalahan terletak pada tiga kelompok besar: permasalahan linguistik atau penerjemahan
puisi, permasalahan sastra atau puisi lagu serta penggunaannya dalam ibadah.
Ketiga kelompok ini sebenarnya mencakup keragaman masalah di atas. Permasalahan
musik sendiri tidak terlalu signifikan, dikarenakan komposisi musik tidak
banyak yang mengalami perubahan. Komposisi puisilah yang menjadi inti masalah
ini. Dapat dikatakan, masalah kontroversi
lagu sion lama versus baru terletak pada masalah puisinya dan bukan pada
musiknya.
Sejumlah ahli berpendapat bahwa tidaklah mungkin
menerjemahkan puisi secara sempurna kata per kata sama persis dengan
makna dan keindahan bahasa asal oleh karena terminologi kata dan makna yang
berbeda-beda di setiap bahasa. Namun demikian penerjemahan puisi lagu gereja
kemudian harus dilakukan guna mendekatkan pikiran dan hati jemaat kepada
suasana ibadah -yang dipahami- meski sebagian lagu terasa janggal bila disandingkan dengan
kaidah berbahasa normal. Tidak dapat dipungkiri, sejumlah lagu dapat dengan
mudah diterjemahkan atau diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia dengan puisi yang
memuaskan telinga, jauh lebih banyak lagu meiliki tingkat kerumitan yang tinggi
dalam penempatan susunan kata serta ketepatan penempatan
puisinya pada melodi lagu –poin yang sering diabaikan oleh penerjemah lagu
awam. Keterbatasan-keterbatasan bahasa banyak kali memaksa penggubah syair
melakukan sedikit modifikasi pada susunan kata dengan mencoba menyesuaikan
dengan kemegahan melodi lagu; sebut saja lagu “It is no secret” yang
diterjemahkan menjadi “tak tersembunyi”, bukannya “bukan rahasia”,
misalnya.
Pembahasan
1. Masalah linguistik
Dasar polemik lagu sion lama dan baru sebenarnya terletak
pada kaidah linguistik yang ‘terabaikan’. Bila kaidah puisi dilanggar kemudian dapat saja
berterima, tidak demikian halnya dengan kaidah linguistik. Akan timbul ‘kebingunan’ bahkan 'blank spot' dalam pikiran, menyangkut konsep dan pemahaman puisi bila dilakukan perombakan
besar-besaran.
Untuk mengenali masalah ini, kita perlu mengetahui seluk-beluk
berbahasa. Ketika seseorang berbahasa atau mengucapkan dan mendengar sebuah bunyi dan atau kata, saat itu sebuah skema atau konsep muncul dalam pikiran. Skema-skema ini
kemudian membentuk rangkaian pemahaman yang disimpan dalam memori otak. Sebagai
contoh, ketika dua suku kata “me” dan “ja” digabungkan, maka otak menggambarkan
sebuah skema berupa benda mati berkaki empat yang berfungsi sebagai tempat
meletakkan sesuatu. Skema 'meja' dalam benak seseorang itu bervariasi, ada yang mungkin membayangkannya dalam bentuk bulat, berkaki lipat, berdasar marmer dan lain sebagainya. Ada orang yang
membayangkan ukurannnya besar, ada yang membayang modelnya bulat dan mungil menurut perspektif masing masing, di mana berbagai wujud ini dipengaruhi oleh pandangannya terhadap meja di sekitarnya. Skema akan beradaptasi bila masuk informasi baru
mengenai rupa dan model ‘meja’ berulang kali. Biasanya lingkungan yang baru membentuk perspektif yang baru mengenai benda-benda atau alamiah lingkungan kita.
Di dalam berbahasa ada pengelompokan suku kata, kata, frase,
klausa dalam kalimat. Kata-katalah yang membentuk kalimat. Urutan dan contohnya
dapat dilihat sebagai berikut:
Contoh kalimat pada tabel di atas akan membentuk skema-skema dalam pikiran. Skema dapat berubah seiring dengan perubahan cara pandang.
Sekarang kita masuk kepada pengenalan akan kata-kata yang menyusun puisi atau lagu dalam buku lagu sion, versi lama dan baru juga terhadap teks aslinya.
LS. Nomor 2
“Ke – pa – da
Al-lah b’ri pu-ji”
susunannya: 8 suku kata, 4 kata, 2 frase dan 1 klausa
Puisi ini hasil terjemahan dari:
“Praise God from whom
all bless-ings flow”
susunannya: 9 morfems, 7 words, 2-3 phrases, 1 sentence
Dapat dilihat, telah terjadi perubahan jumlah unsur penunjang kalimat.
Berbagai pertimbangan kemudian mengubah terjemahan pertama
menjadi seperti kalimat di bawah ini dalam edisi yang disempurnakan:
“Pa – da – Mu Al-lah
ku-pu-ji”
susunannya menjadi: 8 suku kata, 3 kata, 2 frase, 1 klausa
Bila puisi bahasa Inggris tersebut diterjemahkan bebas
dengan mengakomodir makna puisi asal, akan menjadi:
Praise God from whom
all blessings flow
Pu-ji Al-lah yang da-ri-pa-da-Nya-lah se-mu-a ber-kat
ber-sum-ber dan meng-a-lir ber-ke-lan-jut-an
Frase kata kerja “Praise God” menjadi inti tema lagu ini.
Frase selanjutnya menerangkan siapa Dia, kenapa harus dipuji dan siapa saja
yang harus memberikan pujian. Setiap makna kata dalam bahasa asli tidak mungkin dimasukkan dalam melodi puisi terjemahan yang hanya mampu menampung 8 suku kata.
Di bawah ini susunan lengkap puisi lagu ini yang sudah diubah:
Versi lama:
Kepada Allah bri puji, yang brikan berkat dan kasih
Smesta alam pujilah trus Bapa, Anak dan Roh Kudus
Versi baru:
PadaMu Allah, kupuji, yang brikan berkat dan kasih
Smesta alam pujilah trus Bapa, Anak dan Roh Kudus
Puisi asli:
Praise God from whom all blessings flow
Praise Him all creatures here below
Praise Him above ye heavenly’s host
Praise Father, Son and Holy Ghost
Komponen kata yang penting dalam puisi ini:
Praise: berikan pujian, naikkan pujian, nyanyikan puji dan
puja
God: Tuhan pencipta, penebus dan pemelihara manusia
All creatures: Semua ciptaan yang harus menaikkan pujian
Kata-kata penting dari puisi asli
sudah dimasukkan ke dalam puisi hasil terjemahan dengan mempertimbangkan aspek
melodi lagu. Bila diperhatikan, klausa kedua (berarsir biru) harusnya
dimasukkan sesudah kata kedua kalimat pertama karena menerangkan tentang subjek "Allah". Namun, pemenggalan ini dimaklumi dalam puisi lagu demi menyesuaikan dengan melodi lagu.
Adapun kedua versi puisi terjemahan di atas memiliki komponen
kata dan suku kata yang hampir sama, kecuali pada penggantian ‘ke-’ ke ‘Mu’ disertai
perpindahan posisi suku kata dan ‘bri’ ke ‘ku-’. Secara logika, perpindahan ini
tergolong kecil, hanya dua perubahan dan empat suku kata. Bila diperhatikan,
lagu ini juga berubah dalam melodi dan komposisi, namun juga dapat mudah
diatasi karena perubahan yang tergolong mudah terdeteksi.
Perubahan yang lebih sulit dapat dilihat pada contoh lagu
di bawah ini:
Keterangan:
L = versi lama; B = versi baru; angka 1 dan 2 menunjukkan baris dalam ayat dimaksud:
L = versi lama; B = versi baru; angka 1 dan 2 menunjukkan baris dalam ayat dimaksud:
Ayat pertama:
L1: Hampirlah
malam marilah Tuhan,
sertai aku bri perhentian
B1: Tlah
hampir malam mari ya
Tuhan; sertai aku bri perhentian
L2: Karena kuharap hanya padaMu; Yesus penolong tinggal
sertaku
B2: Karena kuharap hanya padaMu; Yesus penolong tinggal
sertaku
Komentar: perubahannya tergolong ringan, hanya dua suku kata
disertai perpindahan posisi
Ayat kedua:
L1: Singkatlah
saja hidup manusia,
akan lenyappun perkara
dunia
B1: Betapa singkat hidup manusia,
akan lenyaplah perkara
dunia
L2: Tetapi
Tuhan kekallah tentu, akan sentiasa tinggal sertaku
B2: Tapi kekallah Tuhanku itu, senantiasa tinggal sertaku
Pada ayat kedua, perubahan mulai berlangsung acak,
tetapi belum secara drastis drastik sehingga masih dapat dipahami, demikian
pula pada ayat ketiga. Namun demikian, perubahan cukup merepotkan karena mencakup pergantian dan perpindahan posisi suku kata, kata dan frase sehingga merepotkan alur berpikir sang penyanyi, khususnya mereka yang pernah menguasai versi lama. Pada kondisi ini mereka harus menyusun kembali skema dalam pikiran. Namun demikian, kondisi akan berbeda pada mereka yang belum pernah menghafal atau menghayati versi lama.
Ayat ketiga:
L1: Sertai aku sepanjang jalan, agar kudapat alahkan setan
B1: Sertai aku sepanjang jalan, agar kudapat kalahkan setan
L2: Penggoda
ada ya Tuhan bantu, dan
biar Engkau tinggal sertaku
B2: Dalam
cobaan ya Tuhan bantu, kiranya
Engkau tinggal sertaku
Ayat keempat:
L1: Beserta
Tuhan habislah susah,
takut dan airmatapun
lalu
B1: Bersama
Tuhan lenyaplah pilu, susah dan takut segra berlalu
L2: Hai maut dan kubur mana sengatmu, jikalau Tuhan tinggal
sertaku
B2: Hai maut dan kubur mana sengatmu, jikalau Tuhan tinggal
sertaku
Pada ayat ketiga, terjadi sedikit perubahan namun
cukup merepotkan karena tata letak dan frase yang berubah tidak tentu;
sementara pada kalimat pertama ayat keempat terjadi perubahan yang cukup
signifikan.
Melalui pemaparan di atas, terlihat bahwa masalah yang timbul bukan
semata-mata pada indah tidaknya puisi hasil renovasi, tetapi pada ‘kebingunan’
yang timbul karena perubahan yang tidak terpola dan acak.
Pengubahan atau renovasi kalimat yang drastis pada buku versi baru dapat memicu
terjadinya ‘blank spot’ dalam pikiran. Logika bahasa tidak berjalan karena pemuktahiran kata
tidak memiliki batasan, apakah terbatas pada perubahan suku kata, atau perubahan kata, atau perubahan frase
ataupun perubahan klausa hingga kalimatnya, sehingga jemaat tidak dapat menarik garis
ketetapan dan mengandalkan logika berpikirnya. Di pihak lain puisi lagu versi lama sudah menyatu dalam jiwa.
Coba bayangkan, dari sekitar 300 lagu lama dengan paling kurang
3 ayat pada masing-masing lagu, berapa banyak energi yang harus dicurahkan
untuk menyesuaikan dengan renovasi yang tak tentu sebagaimana diuraikan di
atas. Tidak heran jemaat menjadi frustasi. Belum lagi, acakan nomor dan judul lagu.
LS nomor 1 digantikan nomornya dalam versi baru menjadi LSEL nomor 21 disertai judul yang berubah. Memang menyiasati hal ini, penerbit telah menyediakan lembar penyesuaian nomor. Kelemahannya, lembar ini banyak kali tercecer dan juga butuh waktu dan konsentrasi dalam mencari tema lagu, tidak semudah penomoran yang tidak berubah. Bagi anggota jemaat yang berusia di atas 30 tahun dan sudah menguasai penomoran versi lama, beradaptasi dengan penomoran baru yang acak pasti sangat sulit dilakukan sekaligus. Jadi, sangat beralasan bahwa waktu lima tahun belum mampu mengubah paradigma jemaat untuk beralih sepenuhnya ke versi baru.
LS nomor 1 digantikan nomornya dalam versi baru menjadi LSEL nomor 21 disertai judul yang berubah. Memang menyiasati hal ini, penerbit telah menyediakan lembar penyesuaian nomor. Kelemahannya, lembar ini banyak kali tercecer dan juga butuh waktu dan konsentrasi dalam mencari tema lagu, tidak semudah penomoran yang tidak berubah. Bagi anggota jemaat yang berusia di atas 30 tahun dan sudah menguasai penomoran versi lama, beradaptasi dengan penomoran baru yang acak pasti sangat sulit dilakukan sekaligus. Jadi, sangat beralasan bahwa waktu lima tahun belum mampu mengubah paradigma jemaat untuk beralih sepenuhnya ke versi baru.
2. Masalah sastra dan
puisi musik
Bahasan
mengenai seluk beluk puisi merupakan bagian dari sastra yang memiliki kaidah
tersendiri. Telah diuraikan sebelumnya bahwa puisi tidak dapat diterjemahkan
sama persis dengan bahasa asal. Akan dijumpai berbagai kekurangan dalam puisi
terjemahan. Penerjemahan puisi musik memiliki tingkat kerumitan khusus karena kata-katanya
harus menyesuaikan dengan jumlah nada dan tinggi rendah maupun panjang pendek melodi lagu. Nah, bagaimana menyiasati kekurangan
itu, tidak saja terletak di tangan keahlian penggubahnya namun juga pada ‘kemujuran’
koleksi kosa kata yang tersedia pada bahasa target.
Melodi lagu adalah rangkaian tinggi rendah nada yang
memiliki kesatuan tertentu. Susunannya yang terangkai perlu ditunjang dengan
puisi yang sama terangkai pula. Pola melodi sebenarnya dibentuk oleh rangkaian
puisi (bahasa) yang tersusun. Untuk puisi yang diterjemahkan, susunannyalah yang harus
menyesuaikan dengan melodi dan hal ini memiliki tingkat kerumitan yang membutuhkan pemikiran
dan pertimbahan bahkan uji coba berulang-ulang.
Setiap bahasa memiliki kosakata yang berbeda. Pola
vokal-konsonan maupun pola akhiran puisi dalam bahasa asal bisa jauh berbeda
dengan bahasa target. Sebagai contoh penerjemahan lagu “Blessed assurance” yang
diterjemahkan di versi lama sebagai “Berkat yang tentu Tuhan Janji” (LS 101) dan
di versi baru sebagai “Jaminan berkat Tuhan janji”. Kedua kalimat berakhiran vokal 'i'.
Hal mendasar yang perlu diingat dalam menerjemahkan puisi dari bahasa asal ke bahasa target adalah tinggi rendah intonasi atau tekanan kata perlu sejalan dengan
tinggi rendah nada dan irama lagu. Sebisa mungkin pola
kata harus sesuai dengan pola tekanan melodi musik; hal ini meliputi
penggunaan vokal dan konsonan. Kaidah keindahan puisi juga tidak dapat dilalaikan.
Akan halnya kondisi terjemahan versi lama atau baru memenuhi
seluruh kaidah keindahan musik dan puisi bisa dilihat dalam teknis pelafalan
yang dilakoni dalam ibadah: yang mana terasa pas dan nyaman dan yang mana
terkesan menggantung.
3. Penggunaan Musik
dalam Ibadah
Penggunaan lagu atau musik dalam ibadah perlu disinggung sedikit dalam tulisan ini karena di sinilah buku lagu (Sion) digunakan. Setiap lagu merupakan alat ekspresi rasa dan karsa anggota yang dalam ibadah sangat dibutuhkan untuk menuntun jemaat kepada kesatuan berpikir, untuk menyatukan rasa dan karsa yang sama dalam ibasah.
Mengingat berkatNya yang selalu baru dan suasana yang berganti-ganti, maka tema lagu pun akan berubah-ubah. Oleh karena fungsi lagu adalah untuk menyatukan hati maka temanya perlu disesuaikan dengan tema kegiatan. Lagu pembukaan dan penutupan perlu sekali menunjang renungan firman Tuhan. Permohonan dan pujian yang disampaikan lewat lagu merupakan bagian dari ibadah, sehingga sangat penting untuk menyesuaikan dengan tema renungan, agar hati dan pikiran ditarik lebih dekat dengan suasana dan isi Firman.
Memilih lagu
Identifikasi lagu akan pula mengidentifikasi nomor lagu. Terkait
hubungannya dengan kondisi lagu sion edisi lengkap dengan penomoran yang acak, diperlukan waktu yang lama untuk menemukan lagu dengan tema dimaksud.
Menghayati lagu
Permohonan doa dan pujian yang disampaikan lewat lagu perlu
dilakukan sungguh-sungguh, sepenuh hati, pikiran dan jiwa. Kondisi ini
membutuhkan penguasaan lagu dan penghayatan akan makna setiap kata dari lagu yang hendak dinyanyikan.
Contoh: Dengar ya Tuhan, dengar ya Tuhan, dengar doa kami
dan bri damaiMu.
Puisi di atas mengungkapkan percakapan langsung dengan
Tuhan. Bila seluruh kata dalam puisi tersebut sudah dipahami maka ketika dinyanyikan, pikiran dan rasa akan fokus pada kata-kata yang sedang diucapkan. Mereka yang pernah menghayai susunan puisi versi lama akan
kebingungan bila harus beradaptasi dengan versi baru dengan perubahan yang acak. Rasa, logika dan karsa harus menyatu sehingga
fokus pikiran pada kalimat yang sedang diucapkan. Sebagaimana seseorang
bermohon kepada seorang pejabat atau penguasa akan berusaha tahu benar apa yang sedang diucapkannya, demikian pula kata-kata atau bahasa atau puisi yang hendak
disampaikan dalam ibadah yang notabene beraudiensi dengan Tuhan.
Ketika menyanyi, seseorang juga akan mendengar atau mencerna
alunan melodi (musik) dan bahasa (syair) yang dinyanyikan. Bila dinyanyikan berkelompok
atau berjemaat, maka kumpulan suara-suaralah yang akan terdengar. Bila kumpulan
suara yang didengar itu padu, maka jemaat akan menikmati dan memperoleh
kesenangan di dalammnya; sebaliknya, bila tidak, maka ‘kekacauan’
atau ketidakpuasan yang diperoleh. Menyanyi berjemaat merupakan kegiatan paduan
suara yang perlu disenangi dan dinikmati. Berbeda dengan bernyanyi
solo yang lebih ‘bebas’, bernyanyi berkelompok perlu dilakukan secara kompak dan terpadu. Keindahan
bernyanyi paduan suara ada pada keterpaduan yang tercipta. Dua atau lebih orang bermenyanyi merupakan bagian
dari nyanyian berkelompok dan perlu dilakukan dengan serasi dan seimbang.
Nyanyian akan memberikan kesan timbal balik, baik kepada sang
performer atau penyanyi maupun kepada pendengar. Selain menghasilkan kesenangan
bagi sang performer atau pembawa lagu, lagu yang memiliki ‘jiwa’ juga akan
menyampai kesan atau gagasan kepada pendengar, kondisi apa yang akan diperoleh
usai mendengarkan lagu. Dalam ibadah, jemaat adalah penyanyi, jemaat juga adalah pendengar. Bila jemaat sebagai penyanyi tidak terlalu
mempersoalkan versi nyanyian yang hendak dinyanyikan, lama atau baru, jemaat
sebagai pendengar tidaklah demikian. Pendengar membutuhkan pesan lagu dan hal
ini harus disampaikan secara terpadu. Jika tidak,
maka tujuan lagu untuk menguatkan jiwa tidak akan tercapai. Sebagai catatan, puisi yang dinyanyikan dua versi sekaligus dengan
bunyi (sound) vokal ataupun konsonan yang berbeda-beda akan memunculkan
ketidakharmonisan bagi jemaat sebagai pendengar.
Kondisi spiritual jemaat yang sedang membuka hati untuk
mendapatkan input yang berguna bagi pengembangan jiwa dalam hal bunyi (musik)
maupun kata (syair lagu dan atau Firman Tuhan) akan menjadi terganggu bila ada ‘ketidak-harmonisan’
suasana. Saat hati bersiap untuk mendengarkan firman, jemaat yang bernyanyi dan
membuka hati. Dalam tahap ini kondisi jiwa sedang dalam suasana yang peka untuk
dapat mencerna hal-hal sekecil mungkin yang kelak diamalkan kemudian. Kondisi
psikologis ini bila tidak ditunjang dengan suasana lingkungan (dalam hal ini nyanyian,
dan suasana yang tenang atau nyaman) yang kondusif akan menimbulkan
ketidakpastian ataupun kebingungan. Pulang beribadah, ada ketidakpuasan di
dalam pikiran.
Penutup
Kesimpangsiuran yang muncul karena kebingungan untuk memilih
dan menggunakan buku lama atau baru perlu disikapi segera mengingat jangka
waktu ‘tryout’ buku baru telah memasuki tahun ketujuh yang dalam hitungan
matematika memasuki satu dasawarsa. Isi buku perlu ditinjau kembali sebelum
diperbanyak lagi dan lagi. Tentu saja hal ini membutuhkan juga pertimbangan
finansial dan dukungan berbagai pihak.
Penggunaan versi baru tidak akan menimbulkan masalah bagi
generasi berusia 20 tahun ke bawah karena mereka sedang dalam proses belajar dan sedang membentuk konsep-konsep berpikir. Namun,
bagi generasi yang telah lebih dahulu menjiwai dan menghayati isi buku versi
lama, 30, 40, 50, 60 dan 70 tahun ke atas, adaptasi terhadap versi baru dapat dikatakan cukup berat. Persentasi generasi
ini dalam ibadah untuk saat ini jauh lebih banyak daripada generasi muda dan tidak dapat diabaikan.
Lebih dari dua ratus lagu baru yang dimasukkan dalam daftar
lagu versi baru -yang sebenarnya tidak baru lagi karena telah berusia ratusan
tahun- telah mengisi kekosongan yang tidak diberikan oleh buku yang lama.
Ketidakpastian perubahan puisi lagu lama dalam versi baru juga mendorong jemaat
untuk menyanyikan lagu-lagu baru yang terdapat dalam versi baru, disamping karena ingin mendapatkan pengalaman
baru. Fakta bahwa sejumlah lagu yang ditambahkan pada buku versi baru telah memberikan kesan kepada jemaat harus pula menjadi pertimbangan. Akan halnya kenyamanan dalam menyanyikan puisi-puisinya perlu juga diuji.
Uraian ini menunjukkan duduk permasalahan yang dihadapi dalam
penerapan buku lagu di gereja dan menunjuk jalan kepada pemecahannya. Untuk
dapat maju dengan satu buku, kajian dan uji perlu dibuat. Tim yang terdiri atas
pihak-pihak yang ahli tidak saja musik tetapi juga linguistik, sastra dan
teologi akan sangat membantu memberikan langkah-langkah pemecahan untuk
mengatasi kesimpangsiuran penggunaan lagu lama dan lagu baru sehingga kita bisa maju
dengan versi yang disempurnakan tanpa meninggalkan versi lama.
* * *
*Nantikan versi audio - video tulisan ini