Tuesday, May 17, 2022

Menyusuri jejak leluhur, untuk apa?


Akhir minggu kemarin, dalam rangkaian hari libur nasional, saya berkesempatan mengunjungi pulau Tagulandang bersama mami dan kakak saya serta sejumlah keluarga dari sisi mami. Sebelumnya, sudah dua kali saya mengunjungi pulau tersebut, pertama bersama tim dari sekolah menengah atas dan kedua bersama rombongan pemuda. Hal yang menggembirakan bagi saya, perjalanan kali ini adalah pertama kali saya tidak mabuk laut dan muntah muai dari perjalanan pergi dan pulang. Perjalanan pergi berlangsung selama empat jam dengan kapal malam di hari Jumat dan perjalanan pulang berlangsung selama tiga jam dengan kapal cepat di hari Senin siang.

Perjalanan Pulang Kampung ini merupakan perjalanan keluarga karena didukung oleh kelompok keluarga yang bernama Rukun Lohonauman, marga mama saya, untuk pulang kampung mencari jejak para leluhur di tanah asal, Tagulandang. Kegiatan ini memuat agenda penting yakni menyelesaikan buku keluarga Lohonauman berisi filosofi dan silsilah keluarga yang sementara dalam proses penyempurnaan data. Penyusunan buku dilakukan oleh anggota rukun yang menaruh minat yang besar pada penulisan, silsilah dan histori serta filosofi keluarga. 


Dalam perjalanan yang diikuti oleh 24 orang dewasa 3 orang anak ini, kami memiliki kesempatan untuk mendiskusikan manfaat dari kegiatan "Pulang Kampung" kali ini, yang terakhir kali dilakukan sekitar dua dekade sebelumnya oleh kelompok yang sama, di mana saat ini sejumlah perintis dan menjadi penghubung antar keluarga masih hidup. Apa manfaatnya, menjadi pertanyaan yang hakiki. 

Kita perlu melihat dan mencari tahu jejak para orang tua dan pendahulu kita untuk belajar kepada mereka, pelajaran hidup yang ditinggalkan karena kebiasaan ataupun kultur mereka sangat dekat dengan para keturunannya. Nilai-nilai hidup yang diajarkan berlaku turun temurun dan sangat baik untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai itu diimplementasikan dalam kehidupan dan bagaimana keberhasilan yang diperoleh disesuaikan dengan nilai hidup yang diajarkan. Timbal baliknya, kita melihat hal-hal yang baik untuk menghidupkannya. Singkat kata, kita belajar dari leluhur kita. 

Penyelesaian pohon keluarga merupakan langkah utama. Oleh karena waktu berjalan terus, hal selanjutnya adalah kita perlu mengabadikan pengetahuan para orangtua yang mengetahui percabangan dalam keluarga, selagi mereka masih hidup. Ketiga, sejumlah anggota rukun memiliki minat yang tinggi tentang silsilah, filosofi dan budaya serta kemampuan untuk menyusun buku sehingga penerbitan sebuah buku keluarga sangat mungkin. Keempat, di zaman canggih seperti saat ini, penyusunan/publikasi serta penerimaan/penyerapan informasi dapat dilakukan serba cepat. Kelima, anak cucu kita bisa mengetahui dari mana mereka berasal sehingga dengan mudah bisa mengenali sesama rumpun keluarga meskipun mereka telah berdiaspora ke berbagai wilayah Indonesia bahkan di belahan dunia yang lain. 

Secara psikologis, pencarian pulang kampung mendekatkan diaspora kepada alam dan kebiasaan yang membesarkan leluhur mereka. Interaksi dengan masyarakat dan lingkungan membuka wawasan kita untuk merasakan tantangan yang dihadapi para leluhur, baik itu secara psikologis, ekonomis maupun sosial. Informasi boleh didapat secara langsung dengan narasumber tidak saja didasarkan pada kata-kata namun juga dari ekspresi, intonasi dan ekspresi wajah para narasumber yang tidak dapat dijelaskan hanya dalam bentuk kata. Bergaul secara langsung dengan para penutur/ narasumber juga memungkinkan percakapan dua arah sehingga percakapan dan data bisa lebih berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pulang kampung kali ini menjadi hal yang cukup penting.  

Selain mengenal dari dekat anggota keluarga yang sebelumnya belum pernah jumpa, para peserta juga mendapat kesempatan mendekatkan diri satu sama lain. Berada di suatu tempat selama tiga hari berturut-turut dan melakukan sesuatu secara bersama-sama akan membuat kedekatan satu sama lain. Akar yang sama berujung pada percakapan yang serupa, sehingga lebih fokus dan berkembang dan menyenangkan. Walaupun pertemuan keluarga dalam kelompok kerukunan dilakukan setiap bulannya, namun menghabiskan waktu bersama sehari penuh dalam tiga hari berturut-turut;  mulai dari kegiatan tidur malam, bangun pagi, makan pagi dan siang serta diskusi maupun segala persiapannya pasti memberikan hasil yang sangat berbeda. Tidak ada hari libur lain selama empat hari berturut-turut dalam kalender tahun ini kecuali akhir minggu kemarin, Jumat sampai Senin, 13-16 Mei 2022 yang tersedia dan kondisi cuaca dan lautan cukup teduh. 


Meskipun kegiatan ini memakan sejumlah biaya, beberapa diaspora menyokong dalam bentuk dana, berbagai manfaat yang dijelaskan di atas diharapkan bisa meyakinkan kita bahwa agenda seperti ini perlu dibuat di mana kita, seluruh anggota keluarga merupakan komponen yang terkait langsung, dari orangtua (dewasa) sampai kepada anak kecil. Pulang kampung merupakan bukti nyata penghargaan kepada orang tua kita apalagi jika mereka masih hidup. Diharapkan, kegiatan ini menggugah para diaspora atau anggota keluarga di perantauan untuk datang pulang kampung atau paling tidak, dapat menyokong kegiatan seperti ini sekecil apapun untuk menggalang kekompakan dan semangat persaudaraan. Alangkah bahagianya hidup rukun dan damai di dalam persaudaraan. * 


Monday, May 16, 2022

Salak Tagulandang mulai menghilang?

Tahun 1990an, salak Tagulandang begitu dikenal, tidak saja di daerah Sulawesi Utara, tetapi sampai ke propinsi dan pulau yang lain seperti Sulawesi Tengah dan Kepulauan Ternate. Bagi penikmat salak, rasa dan bentuk salak Tagulandang memiliki ciri kas tersendiri; bentuknya lebih besar dan rasanya yang kuat (berasa yang manis, sedikit asam dan pakat-seperti berasa pahit getah- dengan daging yang kenyal. Kelancaran lalu-lintas perdagangan Manado ke kepulauan Sangihe, Talaud, Sitaro, dan ke propinsi tetangga Sulawesi Tengah membuat salak dari pulau ini berhasil mengharumkan dan mengabadikan namanya dalam hasil produksinya itu, Tagulandang. 

Waktu berlalu, lalu-lintas laut berubah dan hasil bumi juga berpindah. Masyarakat Tagulandang yang hidup di perantauan mulai menanam dan menghasilkan salak kemudian menjualnya ke lokasi-lokasi yang dulunya pengimport buah ini. Alhasil, permintaan salak Tagulandang mulai menurut. Perubahan rute kapal kecil yang menutup pelayaran dari Manado, ibukota propinsi Sulawesi Utara ke sejumlah wilayah di Sulawesi Tengah juga seakan menutup pintu masuk Salak Tagulandang ke daerah-daerah lain. 

"Banyak pohon salak ditebang dan diganti dengan pohon lain, seperti pala dan kenari. Ini dilakukan karena permintaan salak mulai menurun, sementara pala dan kenari tetap dicari," ungkap Stevi Mulalinda Loho, tokoh masyarakat Bawoleo yang merupakan pusat lokasi perkebunan salak di Tagulandang. Stevi menjelaskan, ekonomi masyarakat Tagulandang sebelumnya sangat bergantung pada ekspor salak dan kini harus mengganti sumber penghasilan lain sebagai penopang ekonomi. 

Penyebab lain susahnya salak Tagulandang ditemukan di pasaran akhir-akhir ini karena faktor cuaca yang tidak menentu. Curah hujan yang terus menerus beberapa waktu yang lalu mengganggu pertumbuhan buah salak sehingga banyak pohon tidak mengeluarkan buah, jelas Stevi. 

Bila di masa kejayaannya para petani salak Tagulandang sudah harus berjuang untuk menutupi pemeliharaan kebun dan penjualan salaknya serta kerugian bila buah rusak kerena tidak terjual pada waktunya, hal yang sama harus dilakukan saat ini ditambah lagi dengan usaha untuk mempertahakan eksistensi salak Tagulandang. Untuk memperoleh pemasukan tambahan, kebun salak misalnya, dapat dijadikan objek wisata buah; para turis yang datang ke Tagulandang dapat dituntun untuk mengunjungi kebun salak serta menikmati buah dengan petik langsung; tidak perlu terlalu cantik, yang penting pemeliharaan pohon dan kebersihan kawasan terjaga dengan baik. Usaha yang lain yang dapat dibuat adalah dengan memproduksi manisan salak atau keripik  salak sehingga tidak ada buah salak yang terbuang karena lewat waktu atau rusak.  Salak Tagulandangpun bisa tetap eksis dan dinikmati masyarakat.